Senin, 31 Januari 2011

Adakah Konspirasi Setanisme di Tubuh Vatikan?

Simbol salib terbalik telah santer terdengar sebagai lambang penentangan para pengikut satanisme, sebagai simbol untuk gerakan anti Christ, yaitu sebuah gerakan bawah tanah untuk menentang Kristus. Simbol perlawanan tersebut diwujudkan dalam bentuk salib yang sengaja dibalikkan, dengan posisi kepala salib berada dibawah. Salib ini kerap dipergunakan oleh para pemuja setan dalam ritual-ritual setanisme. Dalam konser-konser musik tertentu, simbol ini juga sering dipertontonkan dan dijadikan lambang aksi-aksi teatrikal untuk menghina keberadaan Kristus. Dalam sebuah konsernya, Madonna pernah memperagakan dirinya yang sedang disalib, dan salib terbalik yang terbakar.


Sontak, adegan penghinaan tersebut mendapatkan reaksi keras dari kalangan gereja yang merasa telah dilecehkan oleh perbuatan tak beretika dari artis tersohor tersebut. Isu merebak dengan mengaitkan agama yang dianut Madonna, yaitu Kaballah, sebuah sekte Yahudi yang dianggap hitam oleh beberapa kalangan. Vatikan menuding pertunjukan Madonna tersebut sebagai “salah satu pertunjukan

setan terhebat dari seluruh pertunjukan setan yang ada dalam sejarah manusia!”

Yang menjadi perdebatan kemudian adalah, ternyata simbol salib terbalik itu dipergunakan sebagai hiasan pada singasana Paus. Pada kunjungan Paus John Paul II ke Israel, tampak jelas sang Paus duduk pada singasana yang memiliki ukiran salib terbalik di atas kepalanya.

Para penganut teori konspirasi yang juga penentang Vatikan, spontan mengaitkan penggunaan salib terbalik (inverted cross) tersebut sebagai bentuk konkrit persekutuan Vatikan dengan kelompok setanisme. Tudingan dilancarkan oleh para penentang gereja, yang menuduh bahwa Paus John Paul II dan gereja yang dipimpinnya telah mengabaikan dan menodai kehormatan Vatikan dan Katolik secara umum. Berbagai tuduhan pedofilia yang dilakukan oleh beberapa kardinal, dihubungkan dengan isu ‘asap setan’ yang telah merasuki Tahta Suci Vatikan. Isu mengenai ritual setanisme di Vatikan, pernah diangkat oleh seorang mantan orang dalam Vatikan sendiri, yang bernama Malachi Martin. Dalam bukunya, yang diklaim oleh penulisnya, dibuat berdasarkan kisah nyata Vatikan, ia menuliskan pada halaman 632[1]:

"Yang paling menakutkan untuk (Paus) John Paul [II], karena ia telah menemukan sesuatu yang tidak mungkin dapat dihapuskan keberadaannya yaitu berupa kekuatan jahat di Vatican dalam diri beberapa orang uskup chancelleries. Itulah yang dipahami oleh para gerejawan dengan apa yang disebut' sebagai superforce." Desas-desus selalu sulit untuk diuji, juga terikat dengan awal penetapannya pada masa kekuasaan Paus Paul VI di tahun 1963. Memang Paul menyinggung sangat serius mengenai "asap setan, yang telah memasuki Tempat Kudus'... yang menunjuknya secara tidak langsung kepada sebuah upacara penobatan yang dilakukan oleh pemuja setan di Vatikan.

Tapi benarkah teori yang menyebutkan bahwa Vatikan telah berkonspirasi dengan pemuja setan tersebut? Mengapa begitu banyak peristiwa hitam para Paus yang seakan-akan dipendam rapat-rapat dalam ruang arsip Vatikan yang dijaga ketat oleh Swiss Guard dan teknologi canggih? Mengapa Vatikan tetap menggunakan simbol salib terbalik meskipun di masyarakat Kristen dan non Kristen telah terdapat kebingungan untuk membedakan mana salib St. Peter, dan mana salib setan? Lalu mengapa patung-patung setan dan manusia-manusia telanjang bulat bertebaran di gereja-gereja Vatikan? Begitu banyak pertanyaan bernada konspiratif yang tidak dapat dijawab secara gamblang.

“Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, Tuhan Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku” (Kitab Keluaran, 20:4-5).

Firman Tuhan dalam 10 Perintah Allah (Perjanjian Lama) umat Kristen, memiliki kemiripan dan makna yang jelas dengan aturan di dalam Islam, yaitu melarang pendirian patung-patung, apalagi memujanya. Tetapi faktanya, patung-patung Kristus, para rasul, dan termasuk patung-patung yang menyimbolkan setan, bertebaran di tempat-tempat suci Vatikan dan gereja lainnya di seluruh dunia. Apakah ini bentuk perlawanan ‘asap setan’ yang bersembunyi di Tahta Suci? Apakah ini ada kaitannya dengan salib terbalik yang dipuja oleh para penyembah iblis?

Gereja pun kemudian memberikan penjelasan. Salib terbalik sesungguhnya merupakan simbolisasi penghormatan terhadap St. Petrus. Konon pada tahun 64 M, Kaisar Romawi, Nero meradang kepada umat Kristen, yang ketika itu masih dianggap sebagai sekte ilegal, sebagai dalang kebakaran besar yang melanda kota Roma. Kaisar Nero memburu dan menghukum orang-orang Kristen dengan cara-cara yang tak terperi brutalnya. Banyak orang-orang Kristen yang tidak tahu duduk permasalahan, ditangkap-dilumuri lilin panas dalam keadaan hidup, dan kemudian tubuh mereka dibakar sebagai penerang pesta-pesta kebun yang mewah milik Kaisar Nero (sekarang menjadi kebun-kebun di Vatikan). Sementara orang Kristen lainnya sengaja diumpankan kepada singa-singa lapar di arena laga para gladiator.

Puncak kebiadaban Nero terjadi pada tahun 67 M, dimana ketika itu Paus Vatikan, St. Peter ditangkap oleh Nero dan dihukum salib. Metode penyaliban ketika itu merupakan sebuah bentuk hukuman yang umum dilakukan kepada para penjahat, dan merupakan bentuk hukuman yang paling hina. Dikisahkan, bahwa St. Peter merasa tidak pantas untuk dihukum salib dengan metode yang sama dengan yang diterima oleh Kristus. Dan oleh karena itu, dengan ‘kerendahan hatinya’ ia sendiri yang memohon kepada Nero agar dia disalibkan secara terbalik, dengan kepala berada dibawah. Kisah inilah yang kemudian menginspirasikan penggunaan salib St Peter, sebagai pertanda kerendahan hati, dan digunakan oleh Paus di Vatikan.

Dan mengenai patung-patung yang menjadi bagian dari ritual Kristen, gereja menjawab bahwa pelarangan penggunaan patung-patung dalam tradisi Kristen lebih dikarenakan pada masa itu (masa Perjanjian Lama), orang-orang Yahudi belum dewasa pola pikirnya dalam menyikapi patung-patung yang dijadikan berhala.

“Larangan dalam Perjanjian Lama mempunyai tujuan pendidikan, karena itu hanya bersifat sementara. Dengan berjalannya waktu, kedewasaan berpikir semakin matang. Inilah cara bagaimana orang-orang Kristen seharusnya memahaminya. Mereka mulai dengan gambaran Kristus dan melukiskan bagian-bagian hidup-Nya untuk membantu orang semakin dekat dengan Tuhan. Gereja-gereja, kapel, bahkan makam-makam dibuat dengan pemahaman yang sama[2].”

Para penentang menganggap pembelaan tersebut sebagai pembodohan dan pembenaran yang tidak masuk akal. Bagaimana mungkin kitab suci dibuat hanya untuk sementara? Mengapa ‘firman Tuhan’ yang dianggap ‘diatas segala-galanya’ bisa lalai dalam memperhitungkan pendewasaan berpikir umat manusia? Penentangan ini muncul telah sejak lama, dimana akhirnya orang-orang Kristen Protestan menolak untuk menggunakan patung-patung apapun dalam peribadatannya, sebagaimana yang ngotot dipertahankan oleh petinggi-petinggi Katolik.



[1] The Keys of this Blood

[2] Dikutip dari Jubelum edisi 55, tahun V, Oktober 2004, sebagai salah satu pembelaan gereja Katolik terhadap pertanyaan mengenai penggunaan patung-patung dalam tradisi Kristiani Katolik.

Perseteruan Ilmu Pengetahuan dan Keimanan

Doktrin gereja dalam Perjanjian Baru dengan tegas menyatakan bahwa bumi adalah pusat alam raya, yang artinya bukan bumi yang berputar mengelilingi matahari, tetapi mataharilah yang mengorbit pada bumi. Gereja ketika itu berpegang teguh pada konsep Aristotelian, yang menganut teori geosentris (bumi sebagai pusat tata surya). Demikian pula dalam Injil:

Lalu Yosua berbicara dihadapan bangsa Israel: "Matahari berhentilah engkau di atas gibeon dan engkau bulan diatas lembah Ayalon!" Maka berhentilah Matahari dan Bulan pun tidak bergerak, sampai bangsa itu membalaskan dendamnya kepada musuhnya. bukankah hal itu tertulis dalam Kitab Orang Jujur?
(Yosua 10:12-13).

Ayat dalam Perjanjian Baru tersebut dimaknai sebagai pengakuan Kristen lama terhadap paham geosentris, meskipun kemudian setelah terbukti doktrin itu salah, akhirnya gereja mencari argumentasi untuk mengelak dari kesalahan tersebut, dengan mengatakan bahwa ayat tersebut tidak dimaknai secara harfiah, tetapi justru dimaknai sama dengan terbit dan terbenamnya matahari, yang seolah-olah matahari lah yang bergerak. Tapi yang pasti, sebelum Galileo berhasil membuktikan ‘kekeliruan’ gereja lama tersebut, tidak ada seorangpun pada masa itu yang berani melawan doktrin geosentris dari gereja tersebut.

Tetapi naluri keilmuan Galileo memberontak, dan ia lebih sepakat dengan teori heliosentris milik Coppernicus, yang mengatakan bahwa mataharilah pusat tata surya yang diedari oleh bumi dan planet-planet disekelilingnya. Ia belum dapat membuktikan hal itu hingga akhirnya ia menemukan teleskop, dimana sejak saat itu ia pun mengarahkan matanya menatap langit. Dan memang pada akhirnya, dengan bantuan teleskop itu, Galileo berhasil menjungkir balikkan keyakinan ‘sesat’ gereja lama mengenai pusat tata surya. Puncaknya, Galileo dianggap bid’ah, pelaku sihir dan pemberontak bagi gereja. Ia dipanggil, dipaksa untuk mencabut kebenaran ilmiah dari mulutnya. Ilmuwan besar itu, terpaksa mengabulkannya. Dan bahkan pada pengadilan kedua ia dipaksa untuk mengakui bahwa meyakini matahari bersifat tetap adalah absurd secara filosofis, dan secara formal bersifat berhala[1].

Para sarjana Eropa pada masa pencerahan (reinassance) banyak mengkritik ‘kesesatan’ ilmu yang terdapat pada penafsiran Injil. Banyak juga yang kemudian membandingkan bagaimana setelah seribu enam ratus tahun masa kekristenan, masih saja kitab-kitab suci mengabarkan fakta-fakta yang salah dan saling bertentangan. Kontradiksi keilmuan dalam Bible serta pemaksaan keyakinan ilmiah oleh gereja ketika itu memicu pemberontakan intelektual. Gereja dianggap memenjarakan ilmu pengetahuan untuk mencari kebenaran alam. Sebaliknya gereja menganggap ‘petunjuk’petunjuk’ lain diluar Injil adalah bid’ah, sesat, dan bersifat berhala. Lalu terjadilah perseteruan diantara kedua aliran: akal vs keimanan.

Pertentangan tersebut semakin meruncing dengan berdirinya Illuminati pada tahun 1776, oleh Dr. Adam Weishaupt, seorang mantan pendeta Jesuit yang membelot, sebab merasa gereja telah mengekang perkembangan akal manusia. Illuminati didefinisikan sebagai pencerahan, yang merupakan organisasi persaudaraan rahasia, yang diyakini tetap hidup hingga saat ini. Galileo diduga merupakan anggota Illuminati periode pertama. Oleh gereja, Illuminati bersama Freemasonry, dianggap sebagai penyembah berhala, yang mereka sebut sebagai Luciferian[2] , penyembah the Great Architect, Lucifer.

Namun ada teori lain yang berkembang dari para penganut teori konspirasi yang mengatakan bahwa, alasan gereja memusuhi gerakan Illuminati ini dilatarbelakangi oleh motif kekuasaan. Katolik Roma merupakan gereja warisan Paulus (pencetus Kristen), sedangkan Illuminati dianggap sebagai penganut paham gnostik, yang meyakini bahwa Maria Magdalena lah pewaris Kristen sejati, sehingga ia disebut sebagai Illuminatrix (Yang Tercerahkan). Pada bab-bab sebelumnya telah kita bahas mengenai pemikiran kritis soal bagaimana peran Maria Magdalena ini dikecilkan oleh gereja ketika itu. Jadi jika benar motif ini, maka telah terjadi perang konspirasi di antara kedua aliran, yang membenturkan antara ilmu pengetahuan (yang dianggap gnostik oleh gereja) dengan keimanan Katolik.

Pengikut Illuminati diburu oleh gereja dengan dibantu kerajaan yang tunduk pada kekuasaan gereja. Mereka yang dituduh sebagai Luciferian Conspiracy dikejar bak hewan buruan, ditangkap, dicap salib pada dada mereka dengan besi panas, dan kemudian dibunuh dihadapan orang banyak untuk menunjukkan kesesatan aliran tersebut. Hal ini digambarkan dalam novel laris Angel & Demon, tulisan Dan Brown.

Illuminati membalas dengan beberapa pemberontakan kecil, namun kalah oleh gabungan kekuatan gereja dan kerajaan. Akhirnya mereka berkonspirasi untuk menjatuhkan gereja Katolik Roma, musuh Lucifer, dengan jalan berkonspirasi secara rahasia. Diyakini bahwa banyak tokoh-tokoh besar dunia merupakan anggota rahasia Illuminati yang memberikan pengaruh dan arah terhadap berbagai peristiwa besar di dunia. Tokoh-tokoh besar tersebut di antaranya, George Washington, Issac Newton, , George Bush hingga ke Madonna.

Illuminati pun dipercaya memasuki dunia ilmu pengetahuan dan media massa, untuk menyebarkan propaganda bahwa manusia berkuasa atas dirinya sendiri, dan tidak ada campur tangan Tuhan pada hidup manusia. Jika kita memikirkan secara mendalam, bagaimana produk-produk media Barat, terutama film-film Hollywood, yang menisbikan peran Yesus, mengolok-olok Tuhan, adegan-adegan ‘memanusiakan’ Tuhan dalam plot-plot yang konyol, rasanya konspirasi ini bukanlah isapan jempol semata...



[1] Pada tanggal 31 Oktober 1992, Paus Yohanes Paulus II di depan publik menyatakan penyesalannya atas tindakan umat Katolik yang memperlakukan Galileo secara buruk dalam pengadilan tersebut.

[2] Orang yang dicerahkan, atau bisa juga menyembah Lucifer (raja Iblis versi Kristen)

Konspirasi Membakar Perang Salib Pertama

Perjanjian Aelia (sebutan untuk Yerusalem) antara Pasukan Muslim dengan Pemimpin Kristen Yerusalem:

“Inilah perdamaian yang diberikan oleh hamba Allah, Umar, Amirul Mukminin, kepada rakyat Aelia: Dia menjamin keamanan diri, harta benda, gereja-gereja, salib-salib mereka, yang sakit maupun yang sehat, dan semua aliran agama mereka. Tidak boleh mengganggu gereja mereka, baik membongkarnya, mengurangi, maupun menghilangkannya sama sekali, demikian pula tidak boleh memaksa mereka meninggalkan agama mereka, dan tidak boleh mengganggu mereka. Dan tidak boleh bagi penduduk Aelia untuk memberi tempat tinggal kepada orang Yahudi.”

Dengan perjanjian fenomenal tersebut, berjalanlah Khalifah Umar bin Khatthab ditemani pelayannya, tanpa pengawal menuju gerbang Yerusalem. Disana telah menunggu Partiarch Yerusalem, Uskup Agung Sophronius dan rombongan yang berpakaian menyilaukan, sementara Umar hanya berpakaian sangat sederhana. Ketika Umar menyatakan hendak shalat, Uskup menawarkan untuk melakukannya di dalam Gereja Makam Suci Yesus (Holy Sepulchure), namun dengan sopan Umar menolaknya, karena ia khawatir perbuatannya itu akan memancing umat Muslim untuk mengganti fungsi gereja suci bagi umat Kristen tersebut menjadi mesjid.

Lebih dari empat abad, Yerusalem dibawah kepemimpin Muslim dalam damai. Tidak ada pembinasaan bagi umat non muslim, gereja-gereja dan kuil dipelihara. Sebagaimana penyerahan Yerusalem kepada Umar, maka kepemimpinan Muslim di kota suci tiga agama samawi itupun berlangsung tanpa banyak tumpahan darah. Akan tetapi dendam masih membekas pada Gereja Katolik Romawi. Perasaan kalah itu menunggu dalam diamnya di relung kegelapan, dan pada saatnya ia akan bangkit keluar dan mengusik kedamaian itu!

Adalah Paus Urbanus II, penguasa Gereja Katolik Barat (Katolik Roma). Menurut para sarjana, pada masa itu sang Paus sangat berkeinginan untuk menyatukan Gereja Katolik Timur (Orthodox) yang berkedudukan di Byzantium, dan ada perpecahan diantara keduanya. Gereja Katolik Barat merasa terhalangi oleh kekuasaan Gereja Katolik Timur untuk melakukan perdagangan dengan ‘Dunia Timur’. Paus membutuhkan alasan untuk dapat menggerakkan pasukannya ke timur. Dan harapan itu terjawab dengan permintaan Kaisar Alexius I kepada Paus Urbanus II untuk membantunya mengirimkan 1200 orang ksatria untuk membantu Byzantium dan menahan laju invasi tentara Muslim di Eropa. Dendam dan ambisi melebur dan tersulut oleh permintaan Kaisar Alexius I. Inilah momentum yang ditunggu-tunggu oleh sang Paus.

Permintaan dan kepentingan politik dirasakan tidak akan mampu menyulut patriotisme rakyat Katolik. Paus harus memikirkan cara untuk membakar semangat ‘jihad’ ala Katolik. Tidak ada cara lain yang terlintas kecuali mengumandangkan sentimen agama! Maka pada tahun 1095 M, berkumandanglah pidato Paus Urbanus II di Clermont. Paus menghasut umat Kristen untuk mengakhiri perjanjian damai dengan Muslim. Ia berlindung di balik doktrin ‘Deus Vult’ (Ini adalah kehendak Tuhan). Fitnahpun ia serapahkan kepada umat Kristen, bahwa umat Muslim telah memberangus gereja, membunuh orang-orang Kristen dengan cara disembelih. Ia mengatakan bahwa orang-orang Muslim adalah penyembah berhala, dan oleh karena itu Kristen harus merebut kembali Yerusalem. Maka isu politik pun bergeser menjadi isu agama Kristen-Muslim oleh hasutan Paus Urbanus II.

Dibawah pimpinan Godfroy de Boulion, seorang Yahudi yang masuk Kristen, pada tahun 1097, 150.000 pasukan bergerak ke Timur. Perang suci yang dikumandangkan oleh Paus ternyata pada catatan sejarah penuh dengan darah kekejaman pasukan salib, yang didominasi oleh pasukan Perancis dan Normandia. Sepanjang jalan menuju Yerusalem, pasukan ini justru melakukan perampokan dan pembunuhan, tidak hanya kepada orang-orang Islam, tetapi juga kepada orang-orang Yahudi. Mereka bahkan membelah perut para korban untuk mencari emas dan permata yang dicurigai ditelan sebelum perang[1].

Untuk memikat hati rakyat Katolik, Paus Urbanus II bertindak seakan-akan Tuhan, dengan janji akan menganugerahkan pengampunan dosa dan mengirimkan para tentara yang bertempur dengan orang Islam dengan balasan surga. Terlepas dari janji-janji tersebut, catatan sejarah menuliskan bahwa Perang Suci tersebut tidak sepenuhnya dilandasi oleh iman kristiani, sebab mereka yang pergi bertempur justru banyak yang ingin lari dari kesulitan hidup. Oleh karena itu menjadi wajar ketika perang yang seharusnya dijadikan pembebasan, justru berbalik menjadi kekejaman. Kemurnian ajaran Kristus diselewengkan dan dijadikan alat untuk propaganda. Seorang pemimpin pasukan bernama Emich von Leiningen, memaksa para Yahudi yang ditemui di sepanjang perjalanan untuk masuk ke agama Kristen, dan apabila menolak maka Yahudi tersebut akan dibantai. Ada kebencian berkarat dalam hatinya: “Merekalah umat yang bertanggung jawab atas kematian dan penyaliban Yesus. Karena itu mereka layak untuk mati kecuali mereka bertaubat kepada Kristen[2]”.


Versi Kristen mengatakan justru, umat Muslimlah penyebab meletusnya perang salib, sebab Bani Seljuk Turki mempersulit umat Kristen untuk berziarah ke Baitul Maqdis. Dan itu menjadi alasan bagi Paus untuk mengirimkan pasukannya demi menjaga keamanan penziarah Kristen. Selain itu juga disebutkan versi lain mengenai kondisi permusuhan Kristen Roma dan Kristen Ortodox. Paus Urbanus II justru bermaksud untuk mendamaikan dan menyatukan kedua aliran Kristen tersebut. Namun sayangnya, meski Perang Salib telah berkobar berkali-kali, namun hingga saat ini masih terbentang jarak antara Gereja Katolik Roma (Vatikan) dengan Gereja Orthodox. Invasi dan perluasan kesultanan islam juga menjadi momok yang mengkhawatirkan banyak kerajaan-kerajaan Kristen, sehingga mereka berupaya untuk menghambatnya dengan jalan mengobarkan perang suci, meskipun sebenarnya pasukan Islam, menurut catatan sejarah, justru tidak menjadikan perluasan wilayah kekuasaan atas dasar Islamisasi. Fakta ini tercatat, baik dalam versi Islam maupun versi Kristen, bahwa penguasa Muslim membebaskan kehidupan beragama bagi rakyat taklukkannya.

Tampaknya perbuatan Paus Urbanus II telah menginspirasi George Walker Bush Junior, ketika ia membakar amarah rakyat Amerika, pasca 9/11, dengan ucapan: “Perang salib ini, perang melawan terror ini, akan cukup memakan waktu…” Dan lihatlah akibat yang sama seperti yang dilakukan pasukan salib seribu tahun yang lalu. Pasukan Amerika[3] juga menyiksa orang sipil, membunuh, dan menginjak-nginjak harga diri manusia bangsa Irak dan Afganistan. Sejarah telah mengulang kembali konspirasi yang nyaris sama dengan Perang Salib I. Dan juga sama dengan perang yang dikumandangkan oleh Bush Jr., perang salib pun terjadi berkepanjangan, dengan hanya menyisakan penderitaan bagi jutaan orang.



[1] Disadur dari ‘Knights Templar of Christ’, hal. 94

[2] Dikutip dari ‘Born in Blood:The Lost Secret of Freemansory’, John J. Robinson, 1989

[3] Yang ternyata tidak murni merupakan militer Amerika, tetapi mereka adalah tentara-tentara swasta (Pembahasan lebih lanjut akan disajikan pada bab selanjutnya)

Rabu, 26 Januari 2011

Pengkerdilan Peran Maria Dalam Bible

Penemuan osuarium Yesus Putra Yosef di Talpiot pada tahun 1980, yang kemudian dijustifikasi pada tahun 2005 melalui serangkai pengujian DNA dan lapisan patina, semakin menggelembungkan tanya dalam dada banyak insan yang mendamba pengungkapan sesungguhnya sejarah Kristus. Bagaimana ia dilahirkan, perannya mengabarkan firman Bapa, penghianatan muridnya, penangkapan, kematian, kebangkitan, kenaikannya, serta tentu saja, siapa wanita istimewanya.

Publik kerap dibimbangkan dengan nama Maria. Kebanyakan umat mengetahui bahwa nama Maria adalah ibunda Yesus yang melahirkannya dengan kuasa ruh suci yang merasuk ke dalam rahimnya. Bunda Maria, itulah yang lazim terdengar dan dipahami. Hal ini dikarenakan nama Maria yang satu ini dapat dikatakan kurang mendapatkan tempat yang layak dalam kisah-kisah di Perjanjian Baru. Bahkan ada yang ekstrim menyebutkan sosok Maria Magdalena adalah sosok wanita pendosa (seksual) pada Lukas:7, meskipun ayat tersebut tidak mencantumkan namanya sama sekali. Ide ini digagas pertama kali ketika Paus Gregory I mengidentifikasi sosok Maria Magdalena sebagai wanita pendosa pada Lukas 7:37, yang juga mencuci kaki Yesus dengan rambutnya. Dalam Perjanjian Baru, sosok ini adalah wanita yang mendampingi Yesus mengembara bersama 12 muridnya. Tidak ada cerita yang menguatkan perannya sebagai sosok sangat penting bagi Kristus.

Kegegeran bermula dari ditemukannya naskah-naskah Laut Mati di Nag Hammadi, Mesir pada tahun 1945, yang salah satunya adalah Injil Philip (Filipus). Menurut para sarjana, Kisah Perbuatan Philip dulu banyak dikutip oleh para penulis Kristen, sebelum banyak teks-teks asli yang hilang. Kisah Perbuatan Philip adalah bagian yang dianggap apokrifal (tidak sah) dari versi resmi Perjanjian Baru. Beberapa isinya dianggap kontroversial, diantaranya:

1. Injil ini mengatakan bahwa Maria Magdalena adalah saudara perempuan Philip. Yesus meminta Maria untuk ‘menanggalkan kewanitaannya’ agar pergi menemani saudaranya Philip yang pemarah.

“Karena mendengar hal ini, Philip menangis. Dia berpikir keras, tugas yang berbahaya ini, dan dia memperlemah ketetapan hatinya, dimana kemudian Yesus berpaling ke saudara perempuan Philip[1], untuk menguatkan dan membimbingnya: ‘Aku tahu bahwa kamu terpilih di antara kaum wanita (bahwa saudara lelakimu disakiti); tetapi pergilah dengannya, dan doronglah ia, karena aku tahu bahwa ia seorang lelaki pemarah dan gegabah; dan jika membiarkannya pergi sendiri, dia akan merepotkan yang lainnya…….(dst). Dan hendaklah kamu-ubahlah aspek wanitamu-dan pergilah dengan Philip….’”

Dari penafsiran para sarjana, tampak bahwa peran Maria Magdalena begitu penting, jauh lebih besar dari peran wanita secara umum dijaman Yahudi kuno, masa kehidupan Yesus, yang ketika itu sangat merendahkan wanita. Peran penting ini yang terasa kurang tersentuh oleh kitab-kitab dalam Perjanjian Baru. Banyak sejarawan mencurigai adanya ‘kesepakatan rahasia’ yang dilakukan oleh otoritas tertentu pada masa itu untuk mengerdilkan peran Maria Magdalena dalam kehidupan Kristus.

2. Teks Injil Philip yang paling menghebohkan adalah bagian yang menerangkan hubungan ‘tersembunyi’ antara Kristus dengan Maria Magdalena.

“Tuhan mencintainya (Maria Magdalena) lebih dari semua murid-murid yang lain dan sering menciumnya di…nya[2]

Mungkin sulit untuk mengakui kebenaran perkataan di dalamnya, tapi setidaknya para pemikir konspirasi dapat mengaitkan keterkaitan isi pada Injil Philip dengan apa yang dikatakan dalam Injil Maria (Magdalena[3]), yang ditemukan sebelumnya pada tahun 1896, oleh Dr. Carl Rheinhardt, di Kairo. Injil kontroversial ini terdapat dalam Akhmim Codex, yang kemungkinan ditulis pada abad ke 4 dan ke 5 M. Teks ini tertulis dalam bahasa Koptik.

“Jangan menangis…Tapi lebih baik kita memuji kebesaran-Nya, karena Dia telah mempersiapkan kita dan membuat kita menjadi lelaki(kutipan dalam Injil Magdalena, 5:1-3).

Para sarjana menyatakan bahwa perkataan Maria ‘menjadi lelaki’ relevan dengan perintah Yesus kepada Maria untuk ‘ubahlah aspek wanitamu’. Hal ini tentu menjadi sebuah argumentasi perlawanan terhadap ‘penghilangan’ Kisah-Kisah Philip dalam Perjanjian Baru yang dilakukan oleh gereja pada masa itu. Alasannya adalah, hal ini membuktikan bagaimana pentingnya peran seorang wanita bernama Maria Magdalena dalam kehidupan Kristus.

Para ahli konspirasi mengatakan bahwa mungkin ini merupakan sikap yang dilakukan oleh otoritas religi yang berkuasa ketika itu untuk mengerdilkan peran wanita, yang memang pada jaman Yahudi tidak diberikan porsi penting dalam masyarakat, dan bahkan pada masyarakat Yahudi lama, wanita tidak diperkenankan untuk membaca Taurat. Penguatan pada argumentasi ini didasarkan pada perkataan dalam Injil Tomas (bagian naskah gnostik dari Naskah Laut Mati yang ditemukan di Mesir, dan ditolak kebenarannya oleh gereja):

“..akhirnya bangkit dan berbicara melawan Maria Magdalena. Menyatakan bahwa seorang wanita tidaklah berharga dalam kehidupan spiritual, dua lelaki ini menuntut agar Maria dikeluarkan dari jemaah. Dan Yesus menjawab dengan sedikit humor,’Lihatlah! Aku akan membimbingnya agar membuatnya seperti lelaki, dan dia mungkin juga akan menjadi jiwa yang hidup seperti layaknya kalian, para lelaki dan…lelaki dan perempuan (diciptakan) untuk menjadi satu, supaya lelaki tidak akan menjadi lelaki dan perempuan tidak akan menjadi perempuan’” (Injil Tomas, ayat 114).

Kecemburuan para rasul lelaki terhadap Maria (wanita) juga tergambar dari Injil Maria Magdalena (18):

“Apakah (Yesus) benar-benar berbicara sendirian dengan seorang wanita dan tidak berbicara terbuka (dengan) kita? Apakah kita harus berpaling dan hanya mendengarkan padanya? Apakah Dia lebih memilih dia daripada kita?”

Ayat itu sekaligus menguatkan posisi istimewa Maria Magdalena sebagaimana yang terdapat dalam Injil Philip: ‘Tuhan mencintainya (Maria Magdalena) lebih dari semua murid-murid yang lain…’

Tiga Injil, yang ketiganya diragukan kebenarannya oleh gereja, berkata tentang dua masalah yang menjadi kunci yang saling terkait dan saling mendukung kebenarannya, melawan 4 Injil Perjanjian Baru, yang seolah-olah tidak mengakui peran penting Maria Magdalena dalam kehidupan Kristus, dan bahkan ada penafsiran yang justru memojokkan sosok wanita ini sebagai pendosa. Apakah Rasul Philip, Petrus, Tomas, dan Maria yang melakukan konspirasi, atau justru penulis-penulis Injil pada masa kekuasaan yang justru berkonspirasi mengerdilkan peran Maria Magdalena? Pikirkanlah…



[1] Profesor Bovon dari Sekolah Tinggi Teologi Harvard, tahun 2006 menyebutkan bahwa Mariamne atau Maria Magdalena adalah saudara perempuan Philip. Bovon juga mengatakan peran Mariamne sebagai Rasul, sama dengan Philip dan Bartholomeus.

[2] Ada bagian yang berlubang di teks aslinya, tapi banyak sarjana meyakini bahwa isi aslinya adalah: ‘pada mulut/bibirnya’

[3] Teks hanya menyebut nama Maria, tapi para sejarawan mengaitkan relevansi isinya dengan naskah-naskah lain yang ditemukan, dan menyimpulkan bahwa Maria yang dimaksud adalah Maria Magdalena