Rabu, 26 Januari 2011

Tubuh atau Jiwanya yang Naik?

Maka bertanyalah mereka yang berkumpul di situ: "Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?" Jawab-Nya: "Engkau tidak perlu mengetahui masa dan waktu, yang ditetapkan Bapa sendiri menurut kuasa-Nya. Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi.” Sesudah Ia mengatakan demikian, terangkatlah Ia disaksikan oleh mereka, dan awan menutup-Nya dari pandangan mereka. Ketika mereka sedang menatap ke langit waktu Ia naik itu, tiba-tiba berdirilah dua orang yang berpakaian putih dekat mereka, dan berkata kepada mereka: “Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke sorga.” (Kisah Para Rasul 1:6-11).

Cukup aneh mengetahui mengapa tidak ada kisah mengenai kenaikan Isa Al Masih dalam Injil Matius. Padahal kisah kenaikan ini adalah episode yang sangat penting dalam tradisi Kristen, sebab peristiwa tersebut menandakan kembalinya ‘Sang Anak’ kepada Bapanya di surga. Injil Markus dan Lukas menyebutkan bahwa Yesus telah naik ke langit dan diletakkan di sebelah kanan Bapa. Keyakinan inilah yang menjadi kepercayaan milyaran umat Kristen sedunia. Paus, uskup, pendeta mengajarkan yang demikian pula kepada umatnya.

Satu pertanyaan tersisa, apakah itu berarti Yesus mati dua kali? Pertama di tiang salib, dan ‘kematian’ kedua adalah 40 hari setelah kebangkitannya dari kubur batu. Pemahaman yang ditanamkan kepada umat, ruh ilahiah Yesus lah yang naik ke langit, sedangkan tubuhnya mengurai bersama cahaya. Ada juga yang menafsirkan bahwa, raga kasarnya juga ikut naik ke langit. Perjanjian Baru dan otoritas gereja mengajarkan bahwa tidak ada jasad kasar Yesus yang dikuburkan setelah kenaikannya itu. Dari sini, kericuhan arkeologi pun bermula.

Penemuan Kain Kafan Turin

Selembar kain kafan lusuh berukuran lebar 110 cm dan panjang 436 cm, diyakini sebagai kain kafan yang menyelimuti jasad Yesus. Banyak penelitian telah dilakukan untuk membuktikan keaslian kain tersebut. Sejak tahun 1969, Profesor Max Frie melakukan serangkaian pengujian terhadap material serbuk-serbuk yang tertinggal di kain itu, yang hasilnya menguatkan dugaan keaslian kafan. Uniknya terdapat gambar seorang pria berjanggut pada permukaan kain, yang diyakini sebagai Yesus sendiri, lengkap dengan tulisan yang memberikan identitas pemilik kain tersebut.

Percobaan lain dilakukan oleh Kurt Berna dari Lembaga Penelitian Jerman, dan dalam sebuah suratnya kepada Paus John ia menyampaikan:

Paduka yang mulia, dua tahun yang lalu, Lembaga Penelitian Kain Kafan Suci Jerman telah mempersembahkan hasil-hasil penelaahan Kain Kafan yang disimpan di Turin kepada Paduka dan masyarakat luas. Selama dua puluh empat bulan yang lalu itu, para ahli yang berbeda dari berbagai Universitas di Jerman telah berusaha untuk tidak membenarkan penemuan-penemuan yang luar biasa itu, tetapi mereka gagal. Walaupun begitu, mereka berdalih bahwa ilmu pengetahuan mereka memungkinkan mereka dengan mudah untuk tidak membenarkan kesimpulan-kesimpulan kami, namun akhirnya mereka mengakui kalah dan sekarang mereka mengakui kembali dan bahkan menyetujui sahnya penelaahan ini; dan memang hal ini penting sekali bagi kedua agama, yakni Yahudi dan Kristen. Kiranya sangat berlebihan dan tidak pada tempatnya di sini untuk menyebutkan berapa banyak komentar-komentar yang timbul di berbagai media massa internasional.

Karena tak seorang pun dapat mengingkari dengan yakin akan hasil-hasil penelitian tersebut, maka Lembaga yakin bahwa penemuan-penemuan tersebut akan menimbulkan tantangan terbuka bagi seluruh dunia. Telah terbukti dengan meyakinkan, bahwa Yesus Kristus telah dibaringkan di Kain Kafan itu, setelah penyaliban dan pencabutan mahkota duri.

Penelaahan-penelaahan telah menetapkan dengan begitu pasti bahwa tubuh orang yang disalib itu telah diselimuti dengan kain itu dan dibiarkan beberapa saat lamanya. Dari sudut pandang ilmu kedokteran, telah terbukti bahwa tubuh yang dibaringkan di Kain Kafan itu tidak mati karena jantungnya masih tetap berdenyut. Bekas-bekas darah mengalir, keadaan ini dan secara alami, memberikan bukti ilmiah bahwa apa yang dinamakan hukuman mati itu benar-benar tidak sempurna. Penemuan ini menggambarkan, bahwa apa yang diajarkan Kristen masa kini maupun yang dahulu tidaklah benar.

Paduka, ini adalah kesaksian ilmu pengetahuan. Tak dapat diingkari, bahwa penelaahan Kain Kafan Suci sekarang ini sangat penting sekali artinya, karena melibatkan ilmu pengetahuan (science) dan bukti sejarah. Foto-foto Kain Kafan Suci yang telah dipersiapkan pada tahun 1931 dengan izin Paus Pius XI yang tegas, menambah lengkapnya perbendaharaan untuk membuktikan benar tidaknya hasil-hasil penelaahan saat ini. Untuk membuktikan bila hal itu tidak benar, maka di sini penting sekali mengemukakan pengujian-pengujian berikut ini:

a. Menggunakan percobaan kimia modern (yang dianalisa oleh miscroscope dan dengan penelaahan-penelaahan semacam itu) pada bekas bekas darah yang menetes yang terdapat di Kain Kafan Suci tersebut yang dihasilkan oleh hentakan-hentakan jantung yang masih tetap berdenyut.

b. Pengujian menggunakan sinar “X” dan sinar infra merah serta sinar ultra-violet maupun dengan menggunakan metode-metode modern lainnya.

c. Didata dengan peralatan jam atom dan metode karbon 14.

Untuk menganalisa kain kafan dengan tepat, hanya diperlukan 300 gram. Ini tak akan merusak Kain Kafan Suci, ia hanya memerlukan carikan 2 cm saja lebarnya dari sisi kain itu, yang panjang kain itu 4,36 meter. Dengan cara ini, bagian-bagian penting dari kain itu tidak akan rusak seluruhnya. Tak ada seorang Kristen pun di dunia ini, kecuali Paduka tentunya sebagai seorang Paus Gereja, yang dapat mengurus barang pusaka suci itu.

Hasil-hasil penelaahan Lembaga dan perwakilan-perwakilan lain yang hanya dapat menolak, apabila pengujian-pengujian ilmu pengetahuan diselenggarakan. Saya tidak mengerti, mengapa Gereja tidak mau memberi izin terhadap penelaahan-penelaah Kain Kafan Suci itu. Saya tidak percaya bahwa hal itu akan menyebabkan Gereja merasa takut: Mengapa harus begitu? Lembaga pun tidak perlu merasa takut, sebab hal itu mengemukakan penelaahan-penelaahan yang tulus dan suci, ia menggunakan metode-metode yang berlaku. Dengan keyakinan penuh, kami dapat menyatakan bahwa tak seorang pun bahkan di dunia ini yang tidak dapat membenarkan penemuan-penemuan itu, yang menimbulkan tantangan terbuka pada Lembaga.

Sebagaimana telah digambarkan, hanya dengan menunjukkan benar atau tidaknya fakta-fakta dan analisa-analisa ilmu pengetahuan saja yang dapat melengkapi hasil-hasil yang diharapkan.

Mengingat penelaahan yang luar biasa ini, kami dengan rendah hati memohon kepada Paduka untuk memberikan perhatiannya, dengan demikian Gereja dapat membawa perkara itu kepada suatu kesimpulan. Sejumlah para pengikut Gereja dan masyarakat lain mereka siap untuk menjawab panggilan apabila Gereja berkenan.

Atas nama Lembaga Penelitian Kain Kafan Suci Jerman dan rekan-rekan yang berkepentingan dalam penelitian ini, kami, sebagai penganut Katolik Roma, dengan ini memohon kepada Paduka untuk memberikan izin hal tersebut karena pentingnya bukti-bukti yang mungkin bisa diperoleh.

Salam takzim pada Paduka.

Kurt Berna,

Penulis dan Sekretaris Katolik

Urusan Lembaga Penelitian Jerman

Apa makna yang tersirat dalam episode Kain Kafan Turin ini? Bahwa apa yang diyakini Paulus, sang Bapak agama Kristen, yang kemudian menjadi doktrin gereja, adalah bertentangan dengan pembuktian ilmiah. Rasul Paulus dan geraja telah mendoktrinkan bahwa Yesus mati di tiang salib. Titik!

Hasil penelitian para sarjana membuat kepausan menjadi serba salah, sebab pengakuan absolut terhadap bukti-bukti ilmiah bisa jadi akan mengacaukan keimanan umat yang terlanjur menyakini doktrin rasul Paulus, si pencetus kekristenan. Namun Paus John XII mengambil jalan ‘aman’ dengan mengeluarkan maklumat yang dicetak di Koran Vatikan ‘L’Osservatore Romano’, tanggal 2 Juli 1960: “Keselamatan Sempurna Tubuh Yesus Kristus”. Dalam hal ini Paus menyatakan kepada para Uskup Katolik yang mengakui dan menyebarkan berita-berita ini, bahwa keselamatan sempurna umat manusia adalah akibat langsung dari darah Yesus Kristus, dan kematiannya akhirnya tidaklah dianggap penting.

Kesimpulan tersebut bukannya tanpa perlawanan. Para ahli penanggalan karbon dari Universitas Oxford, Zurich dan Arizona, membuktikan bahwa kain kafan itu adalah hasil pemalsuan pada abad ke empat belas, jauh setelah wafatnya Kristus. Vatikan sendiri pun seolah enggan berdiskusi panjang dan berdebat mengenai asli tidaknya kain ini. Keengganan tersebut tentu saja meninggalkan pertanyaan, ada apa? Apakah ini sebentuk konspirasi untuk menutupi kebenaran, atau ada pihak-pihak tertentu yang khawatir jika kebenaran terungkap? Keimanan milyaran umat menjadi taruhannya. Apakah tubuh Yesus benar mengurai bersama cahaya atau ia tak ubahnya manusia lain yang mengurai jasadnya dimakan waktu?

Penemuan Osuarium Yesus Putra Yosef

Fakta-fakta arkeologi modern seolah tak henti-hentinya menggugat kebenaran kisah-kisah dalam Perjanjian Baru. Keingintahuan yang maha dahsyat dicurahkan untuk membuktikan benar tidaknya tradisi kekristenan yang ‘terlanjur’ diyakini oleh hampir separuh populasi bumi. Bagaimana tepatnya Yesus naik ke surga. Apakah raga manusiawinya juga ikut bersama ruh suci ke tempat Bapa?

Sebuah makam dibawah tanah hampir saja dihancurkan alat berat ketika Israel hendak membangun kawasan perumahan di wilayah Yerusalem pada tahun 1980. Otoritas berwenang segera memanggil ahli-ahli dari Israeli Antiques Authority untuk memeriksa makam kuno tersebut. Amos Kloner, Yosef Gath, Eliot Braun, dan Shimon Gibson kemudian menggali makam tersebut. Ada 10 peti batu kapur, yang lazim disebut sebagai osuarium, yang digunakan sebagai wadah bagi jenazah orang-orang yahudi pada masa itu. Dari kesepuluh kotak batu tersebut, ada beberapa kotak kotak yang memiliki identitas jelas terpahat di permukaan batu: Yesus putra Yosef, Maria, Matius, dan Yudah putra Yesus. Meskipun sempat mencuat kecurigaan pada nama Yesus dan Maria, namun para ahli tersebut mengacuhkan gejolak dalam hati mereka, dan mengasumsikan bahwa nama-nama tersebut hanya kebetulan, dan mereka menganggap nama Yesus dan Maria adalah nama yang umum bagi orang Yahudi kuno.

Misteri itu terdiam di rak Israeli Antiques hingga 25 tahun kemudian seorang wartawan Simcha Jacobovici menemukan kelompok nama yang mengundang tanya tersebut. Rasa penasaran membawanya menelusuri makam asli dimana osuarium-osuarium tersebut ditemukan. Makam tersebut terkenal dengan nama Makam Talpiot. Tidak puas hanya menduga-duga, maka para peneliti yang haus kebenaran tersebut pun melakukan tes DNA terhadap material tersisa pada peti bertuliskan Yesus putra Yosef dan Maria. Juga dilakukan penelitian lapisan patina untuk mengetahui umur osuarium. Hasil penelitian pada tahun 2005 oleh Carney Mattheson di laboratorium Paleo DNA Universitas Lakehead Ontario, menyimpulkan bahwa mitokondria dua residu DNA milik Yesus putra Yosef dan Maria tidak memiliki hubungan darah. Dari sini disimpulkan bahwa antara Yesus dan Maria merupakan suami istri, sebab kelaziman Yahudi ketika itu adalah melakukan penguburan keluarga yang sedarah dalam satu liang, atau bersama istri. Hipotesis mendalam pun dibuat dengan melakukan perhitungan probabilitas terhadap nama-nama di dalam makam. James Tabor, Simcha dan Charles Pelegrino, semakin meyakini bahwa jenazah Yesus pernah berada di osuarium Talpiot. Jika ini benar, sekali lagi akan membuktikan bahwa telah terjadi kekeliruan pada Perjanjian Baru.

Sulit untuk membuktikan siapakah pihak-pihak yang melakukan konspirasi, apakah para sarjana atau justru pihak gereja? Atau bisa jadi itu bukan merupakan konspirasi, tapi lebih sebagai idealisme yang harus dipertahankan oleh masing-masing pihak. Masing-masing tentu memiliki motif tertentu. Vatikan dengan tegas menolak meyakini bahwa makam Talpiot adalah makam Yesus. Terlebih dalam tradisi Perjanjian Baru, Maria Magdalena ‘bukan siapa-siapa’ Yesus, apalagi sebagai istri yang memberi Yesus seorang anak bernama Yudah. Imej Maria Magdalena dalam Perjanjian Baru, adalah wanita pendosa, sebagaimana yang ditafsirkan oleh Paus Gregory I pada ayat Lukas.

Namun tidak semua petinggi gereja berseberangan dengan hal tersebut. Pada tanggal 5 April 2007, Pendeta Ioanes Rakhmat, seorang dosen kajian Perjanjian Baru di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, seolah-olah membenarkan penemuan makam Yesus tersebut. Ia menuliskan dalam surat kabar Kompas, bahwa kenaikan Yesus hanya bersifat metafora. Kutipan lengkapnya adalah sebagai berikut:

"Jika sisa-sisa jasad Yesus memang ada di bumi ini, maka kebangkitan dan kenaikan Yesus ke surga tidak bisa lagi dipahami sebagai kejadian-kejadian sejarah obyektif, melainkan sebagai metafora. Para penulis Perjanjian Baru sendiri pasti memahami keduanya sebagai metafora; jika tidak demikian, mereka adalah orang-orang yang sudah tidak lagi memiliki kemampuan membedakan mana realitas dan mana fantasi dan delusi. Dalam metafora sebuah kejadian hanya ada di dalam pengalaman subyektif, bukan dalam realitas obyektif. Yesus bangkit, ya, tetapi bangkit di dalam memori dan pengalaman hidup dihadiri dan dibimbing oleh Rohnya. Yesus telah naik ke surga, ya; dalam arti: ia telah diangkat dalam roh untuk berada di sisi Allah di kawasan rohani surgawi. Kebangkitan dan kenaikan tidak harus membuat jasad Yesus lenyap dari makamnya. Untuk keduanya terjadi, yang dibutuhkan adalah "tubuh rohani", bukan tubuh jasmani protoplasmik.

Berdasarkan temuan itu, Rakhmat memberikan hipotesa bahwa kebangkitan Yesus adalah metafora, bukan kebangkitan daging sebagaimana dipercayai umat Kristen selama ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar