Senin, 31 Januari 2011

Konspirasi Membakar Perang Salib Pertama

Perjanjian Aelia (sebutan untuk Yerusalem) antara Pasukan Muslim dengan Pemimpin Kristen Yerusalem:

“Inilah perdamaian yang diberikan oleh hamba Allah, Umar, Amirul Mukminin, kepada rakyat Aelia: Dia menjamin keamanan diri, harta benda, gereja-gereja, salib-salib mereka, yang sakit maupun yang sehat, dan semua aliran agama mereka. Tidak boleh mengganggu gereja mereka, baik membongkarnya, mengurangi, maupun menghilangkannya sama sekali, demikian pula tidak boleh memaksa mereka meninggalkan agama mereka, dan tidak boleh mengganggu mereka. Dan tidak boleh bagi penduduk Aelia untuk memberi tempat tinggal kepada orang Yahudi.”

Dengan perjanjian fenomenal tersebut, berjalanlah Khalifah Umar bin Khatthab ditemani pelayannya, tanpa pengawal menuju gerbang Yerusalem. Disana telah menunggu Partiarch Yerusalem, Uskup Agung Sophronius dan rombongan yang berpakaian menyilaukan, sementara Umar hanya berpakaian sangat sederhana. Ketika Umar menyatakan hendak shalat, Uskup menawarkan untuk melakukannya di dalam Gereja Makam Suci Yesus (Holy Sepulchure), namun dengan sopan Umar menolaknya, karena ia khawatir perbuatannya itu akan memancing umat Muslim untuk mengganti fungsi gereja suci bagi umat Kristen tersebut menjadi mesjid.

Lebih dari empat abad, Yerusalem dibawah kepemimpin Muslim dalam damai. Tidak ada pembinasaan bagi umat non muslim, gereja-gereja dan kuil dipelihara. Sebagaimana penyerahan Yerusalem kepada Umar, maka kepemimpinan Muslim di kota suci tiga agama samawi itupun berlangsung tanpa banyak tumpahan darah. Akan tetapi dendam masih membekas pada Gereja Katolik Romawi. Perasaan kalah itu menunggu dalam diamnya di relung kegelapan, dan pada saatnya ia akan bangkit keluar dan mengusik kedamaian itu!

Adalah Paus Urbanus II, penguasa Gereja Katolik Barat (Katolik Roma). Menurut para sarjana, pada masa itu sang Paus sangat berkeinginan untuk menyatukan Gereja Katolik Timur (Orthodox) yang berkedudukan di Byzantium, dan ada perpecahan diantara keduanya. Gereja Katolik Barat merasa terhalangi oleh kekuasaan Gereja Katolik Timur untuk melakukan perdagangan dengan ‘Dunia Timur’. Paus membutuhkan alasan untuk dapat menggerakkan pasukannya ke timur. Dan harapan itu terjawab dengan permintaan Kaisar Alexius I kepada Paus Urbanus II untuk membantunya mengirimkan 1200 orang ksatria untuk membantu Byzantium dan menahan laju invasi tentara Muslim di Eropa. Dendam dan ambisi melebur dan tersulut oleh permintaan Kaisar Alexius I. Inilah momentum yang ditunggu-tunggu oleh sang Paus.

Permintaan dan kepentingan politik dirasakan tidak akan mampu menyulut patriotisme rakyat Katolik. Paus harus memikirkan cara untuk membakar semangat ‘jihad’ ala Katolik. Tidak ada cara lain yang terlintas kecuali mengumandangkan sentimen agama! Maka pada tahun 1095 M, berkumandanglah pidato Paus Urbanus II di Clermont. Paus menghasut umat Kristen untuk mengakhiri perjanjian damai dengan Muslim. Ia berlindung di balik doktrin ‘Deus Vult’ (Ini adalah kehendak Tuhan). Fitnahpun ia serapahkan kepada umat Kristen, bahwa umat Muslim telah memberangus gereja, membunuh orang-orang Kristen dengan cara disembelih. Ia mengatakan bahwa orang-orang Muslim adalah penyembah berhala, dan oleh karena itu Kristen harus merebut kembali Yerusalem. Maka isu politik pun bergeser menjadi isu agama Kristen-Muslim oleh hasutan Paus Urbanus II.

Dibawah pimpinan Godfroy de Boulion, seorang Yahudi yang masuk Kristen, pada tahun 1097, 150.000 pasukan bergerak ke Timur. Perang suci yang dikumandangkan oleh Paus ternyata pada catatan sejarah penuh dengan darah kekejaman pasukan salib, yang didominasi oleh pasukan Perancis dan Normandia. Sepanjang jalan menuju Yerusalem, pasukan ini justru melakukan perampokan dan pembunuhan, tidak hanya kepada orang-orang Islam, tetapi juga kepada orang-orang Yahudi. Mereka bahkan membelah perut para korban untuk mencari emas dan permata yang dicurigai ditelan sebelum perang[1].

Untuk memikat hati rakyat Katolik, Paus Urbanus II bertindak seakan-akan Tuhan, dengan janji akan menganugerahkan pengampunan dosa dan mengirimkan para tentara yang bertempur dengan orang Islam dengan balasan surga. Terlepas dari janji-janji tersebut, catatan sejarah menuliskan bahwa Perang Suci tersebut tidak sepenuhnya dilandasi oleh iman kristiani, sebab mereka yang pergi bertempur justru banyak yang ingin lari dari kesulitan hidup. Oleh karena itu menjadi wajar ketika perang yang seharusnya dijadikan pembebasan, justru berbalik menjadi kekejaman. Kemurnian ajaran Kristus diselewengkan dan dijadikan alat untuk propaganda. Seorang pemimpin pasukan bernama Emich von Leiningen, memaksa para Yahudi yang ditemui di sepanjang perjalanan untuk masuk ke agama Kristen, dan apabila menolak maka Yahudi tersebut akan dibantai. Ada kebencian berkarat dalam hatinya: “Merekalah umat yang bertanggung jawab atas kematian dan penyaliban Yesus. Karena itu mereka layak untuk mati kecuali mereka bertaubat kepada Kristen[2]”.


Versi Kristen mengatakan justru, umat Muslimlah penyebab meletusnya perang salib, sebab Bani Seljuk Turki mempersulit umat Kristen untuk berziarah ke Baitul Maqdis. Dan itu menjadi alasan bagi Paus untuk mengirimkan pasukannya demi menjaga keamanan penziarah Kristen. Selain itu juga disebutkan versi lain mengenai kondisi permusuhan Kristen Roma dan Kristen Ortodox. Paus Urbanus II justru bermaksud untuk mendamaikan dan menyatukan kedua aliran Kristen tersebut. Namun sayangnya, meski Perang Salib telah berkobar berkali-kali, namun hingga saat ini masih terbentang jarak antara Gereja Katolik Roma (Vatikan) dengan Gereja Orthodox. Invasi dan perluasan kesultanan islam juga menjadi momok yang mengkhawatirkan banyak kerajaan-kerajaan Kristen, sehingga mereka berupaya untuk menghambatnya dengan jalan mengobarkan perang suci, meskipun sebenarnya pasukan Islam, menurut catatan sejarah, justru tidak menjadikan perluasan wilayah kekuasaan atas dasar Islamisasi. Fakta ini tercatat, baik dalam versi Islam maupun versi Kristen, bahwa penguasa Muslim membebaskan kehidupan beragama bagi rakyat taklukkannya.

Tampaknya perbuatan Paus Urbanus II telah menginspirasi George Walker Bush Junior, ketika ia membakar amarah rakyat Amerika, pasca 9/11, dengan ucapan: “Perang salib ini, perang melawan terror ini, akan cukup memakan waktu…” Dan lihatlah akibat yang sama seperti yang dilakukan pasukan salib seribu tahun yang lalu. Pasukan Amerika[3] juga menyiksa orang sipil, membunuh, dan menginjak-nginjak harga diri manusia bangsa Irak dan Afganistan. Sejarah telah mengulang kembali konspirasi yang nyaris sama dengan Perang Salib I. Dan juga sama dengan perang yang dikumandangkan oleh Bush Jr., perang salib pun terjadi berkepanjangan, dengan hanya menyisakan penderitaan bagi jutaan orang.



[1] Disadur dari ‘Knights Templar of Christ’, hal. 94

[2] Dikutip dari ‘Born in Blood:The Lost Secret of Freemansory’, John J. Robinson, 1989

[3] Yang ternyata tidak murni merupakan militer Amerika, tetapi mereka adalah tentara-tentara swasta (Pembahasan lebih lanjut akan disajikan pada bab selanjutnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar